Setiap 21 April, bangsa ini rutin mengenang Raden Ajeng Kartini. Tapi, dari tahun ke tahun, peringatan itu makin terasa seremonial—panggung busana adat, foto-foto Instagram, dan kutipan motivasional yang kehilangan konteks. Di tengah era yang serba cepat, serba digital, dan serba viral, muncul satu tren yang pelan tapi pasti menggeser makna emansipasi (kebebasan) : velocity (kecepatan). Bukan sekadar kecepatan fisik, tapi kecepatan dalam mengejar validasi, gaya hidup, pencapaian, bahkan kebebasan yang semakin berkabut maknanya .
Ironisnya, semua itu sering menjauhkan perempuan dari peran aslinya: tiyang peradaban. Sebab ketika perempuan hanya dibentuk oleh tren, bukan oleh nilai, maka peradaban pun ikut rapuh dibentuk pasar yang mengejar laku dan asal viral.
Kartini dulu menulis, “Habis gelap, terbitlah terang.” Tapi kini, banyak yang justru memilih terang yang silau—bukan terang yang jernih. Dulu perempuan Jawa bangga mengenakan busana santun, menari dengan anggun, dan berprilaki kealem—tanda keteduhan dalam jiwa. Sekarang? Banyak yang bangga kalau bisa tampil vulgar, bicara bebas tanpa batas, dan menganggap kesopanan itu beban patriarki. Dulu perempuan dikenal karena keteguhan batinnya, sekarang sering dinilai dari feed Instagram-nya.
Bukan berarti kita anti perubahan. Tapi perubahan seharusnya tidak memutus akar. Sebab tanpa akar, perempuan hanya jadi daun yang ikut angin. Lihatlah para ibu di desa: mereka tak pernah bicara soal self love, tapi tiap hari bangun sebelum fajar, menanak nasi, mencuci, menjaga anak, hingga ikut rewang di rumah tetangga. Itulah cinta diri sejati—dalam bentuk tanggung jawab sosial dan spiritual.
Kartini bukan tentang perempuan yang hanya ingin duduk di kantor, tapi perempuan yang sadar nilai dirinya, di manapun ia berada. Entah ia guru di desa, buruh di pabrik, ibu rumah tangga, atau penjual jamu gendong. Mereka semua adalah pejuang—asal tahu arah, asal tahu alasan.
Velocity membuat semuanya ingin cepat: cepat lulus, cepat kerja, cepat sukses, cepat nikah, cepat kaya. Tapi jarang yang ingin cepat sadar, bahwa kecepatan tanpa tujuan adalah kesesatan berjamaah. Dunia digital memang menggoda. Tapi ingat kata Kartini, "Banyak hal yang bisa menjatuhkanmu. Tapi yang benar-benar menjatuhkan adalah sikapmu sendiri."
Kini saatnya perempuan sadar akan nusantara dan kearifan lokalnya, berhenti menjadi pengekor tren dan mulai menjadi pelaku perubahan. Menjadi ibu bangsa bukan hanya dalam status, tapi juga dalam cara berpikir. Menghidupkan kembali nilai-nilai luhur: ngemong, ngopeni, ngajari, dan ndandani. Karena dari rahim perempuan yang sadar, akan lahir generasi yang sadar pula.
Mari rayakan Hari Kartini bukan sekadar dengan kebaya dan ucapan-ucapan yang tak perlu, tapi dengan kesadaran bahwa perempuan bukan hanya pelengkap peradaban—ia adalah tiyang utama penyangga dan rahim masa depan.
Penulis : yazid nawaksara
إرسال تعليق