Megengan adalah tradisi khas masyarakat Jawa Timur dalam menyambut bulan suci Ramadan. Kata "megengan" berasal dari bahasa Jawa "megeng," yang berarti menahan, selaras dengan makna puasa dalam Islam. Tradisi ini sudah berlangsung turun-temurun dan menjadi bentuk rasa syukur serta persiapan spiritual sebelum memasuki Ramadan.  


Salah satu ciri utama Megengan adalah kenduri atau selamatan yang dilakukan di rumah, masjid, atau langgar. Acara ini diisi dengan doa bersama dan tahlilan untuk memohon keberkahan. Masyarakat biasanya menyiapkan nasi berkat yang terdiri dari nasi, ayam ingkung, telur, tahu, tempe, serta aneka sayuran sebagai simbol rasa syukur.  


(Kue Apem) 


Selain kenduri, pembagian kue apem juga menjadi bagian penting dalam Megengan. Kue apem melambangkan permohonan ampun dan harapan akan kehidupan yang lebih baik. Tradisi ini menunjukkan nilai berbagi dan kebersamaan antarwarga menjelang bulan suci.  


Masyarakat juga melakukan ziarah kubur, mengunjungi makam leluhur untuk membersihkan pusara serta mendoakan arwah yang telah meninggal. Ziarah ini menjadi pengingat akan kefanaan hidup dan pentingnya memperbaiki diri menjelang Ramadan.  


Selain itu, warga bergotong-royong dalam membersihkan masjid dan lingkungan sekitar sebagai simbol kesiapan menyambut bulan suci. Beberapa desa juga mengadakan kegiatan sedekah kepada fakir miskin sebagai bentuk kepedulian sosial.  


Seiring perkembangan zaman, Megengan tetap lestari meskipun mengalami beberapa penyesuaian. Kenduri yang dulu dilakukan di rumah kini lebih sering diadakan di masjid atau balai desa agar lebih banyak warga yang bisa ikut serta.  


Meskipun cara pelaksanaannya mengalami perubahan, esensi dari tradisi ini tetap sama, yakni mempererat kebersamaan, memperkuat nilai-nilai keagamaan, dan menyambut Ramadan dengan hati yang bersih.  


Megengan bukan sekadar tradisi, tetapi juga warisan budaya yang mencerminkan kearifan lokal masyarakat Jawa Timur. Melalui kenduri, pembagian kue apem, ziarah kubur, dan kegiatan sosial lainnya, Megengan mengajarkan nilai-nilai kebersamaan, gotong royong, serta persiapan spiritual. Dengan melestarikan tradisi ini, masyarakat dapat terus menjaga hubungan sosial dan nilai-nilai keagamaan di tengah perubahan zaman.


Penulis : Ahcmad Fatkhurrozi

Tulis Komentarmu Di Sini

أحدث أقدم