Sebagai rakyat biasa yang 'pas-pasan' dalam kebanyakan hal terutama ekonomi, membeli barang yang tidak terlalu primer mungkin terasa agak berat jika tidak berhubungan dengan hobi atau kesukaan. Namun sebagai orang yang pada umumnya masih berhati 'normal' pastinya tidak bisa tidak merasa simpati, iba, kasihan dengan orang sepuh yang masih bekerja menjajakan jualannya di jalan. Alhasil karena perasaan itu seringkali barang yang mereka jajakan pun terbeli.
Seperti ketika dalam perjalan kemudian menepi dan duduk di trotoar untuk sekedar menyalakan rokok, didatangi oleh seorang nenek penjajah gorengan. Tak pikir panjang langsung membeli jajahannya, urusan rasanya enak atau tidak itu nomor enam, karena nomor satu sampai lima adalah rukun islam.
Hal ini memang memberikan semacam rasa puas karena telah membantu menjadi perantara rejeki seroang yang berusaha menyambung hidup dengan cara yang jujur. Namun hal ini juga membuat dilema dan pergulatan batin yang cukup menguras tenaga emosional.
Selalu saja ada kondisi yang membuat berpikir berunlang kali untuk membeli atau tidak. Terutama bila barang yang dijual cenderung malah merepotkan pembeli.
Seperti saat berpapasan dengan seroang tua yang ringkih dengan postur berjalan yang bungkuk sedang menjajakan kerai. Ini menjadi dilematis karena membeli kerai akan menyusahkan saat dibawa dengan motor. Semakin banyak berpikir dan semakin jauh jarak dengan penjual tua itu maka semakin kecil juga keinginan untuk membeli sambil berharap ada orang lain yang membelinya.
Dewasa ini banyak postingan di medsos yang berisikan cerita sedih tentang orang tua yang kelaparan karena jualannya tidak laku sama sekali. Cerita-cerita ini membuat diri semakin bertekad untuk tidak terlalu banyak berpikir saat menjumpai pedagang tua yang memelas dan terlihat sangat kesusahan berjualan jajahannya. Yang ujungnya kebulatan tekad itu malah membawa penyesalan yang membuat diri berpikir kembali.
Pernah suatu ketika melihat nenek yang berjualan boneka di sebelah pertokoan tanpa menggunakan atap di bawah terik matahari. Tak banyak cakap langsung menghampiri nenek itu dan menanyakan harga sebuah boneka. Ia menjawab harganya tiga puluh ribu. Dua kali lipat harga pasaran boneka di daerah itu. Ah, mungkin sengaja dimahalkan karena hari ini tidak ada pembeli sama sekali dan tidak ada uang simpan.
Ketika membayar dengan pecahan lima puluh ribu terlihat dengan jelas saat nenek membuka dompetnya yang penuh dengan pacahan seratus ribu dan lima puluh ribu. Ia mencari cari pecahan dua puluh ribu sebagai kembalian.
Sontak dalam hati merasa gelo. Entah kenapa tiba-tiba malah mengibai diri sendiri karena uang dalam kantong bahkan tidak ada seperempat uang yang ada dikantong nenek penjajah boneka itu.
Menjadi teringat kutipan dari seorang budayawan “Betapa repotnya rasa iba jika kita harus mengibai seluruh derita yang ada di dunia.”
Entahlah, menjadi semakin pusing memikirkan rasa iba dan simpati dalam diri. Apakah semua orang juga begini? Apakah hal ini yang menyebabkan banyak orang yang berhenti memikirkan orang lain dan lebih mementingkan diri sendiri? Apakah ini yang membuat paham stoik merambah besar dikalangan masyarakat modern?
Kontributor : Sahabat Ahmad
Posting Komentar